A.
LATAR BELAKANG KRONOLOGIS LAHIRNYA
PEMERINTAHAN ORDE BARU
Kondisipolitik Indonesia pasca tragedy pemberontakan
G30S/PKI.Pemerintahan Soekarno dengan menggelar pertemuan pada 10 Maret 1966.
Pada tanggal 11 Maret 1966,di gelar rapat sidang paripurna,agendanya adalah
merumuskan langkah-langkah keluar dari krisis ekonomi,social,dan politik
Indonesia.
Terjadi
ketidak kesekapatan natara presiden Soekarno dan Maijen Soeharto menyangkut
penyelesaian krisis politik yang terjadi di Indonesia.peristiwa itu terjadi
pada tanggal 2 Oktober 1965,pasca peristiwa G30S/PKI
B.
BERDIRINYA PEMERINTAH ORDE BARU DAN
CIRI POKOK KEBIJAKAAN- KABIJAKAN YANG DI HASILKAN
Diangkatnya Maijen Soeharto menjadi Presiden RI.melalui
ketetapan MPRS No.XXXIII/MORS/1967.12 Maret 1967.MPRS yang di ketahui oleh
A.H.Nasution mencabut mandate atas kekuasaan Presiden Soekarno. Program kinerja
dari Kabinet Ampera tercemin dalam Catur Karya antara lain:
- Memperbaiki
kualitas kehidupan rakyat Indonesia, terutama dalam hal sandang dan
pangan.
- Menggelar
pemilihan umum secepatnya hingga 5 Juli 1968, seperti setelah ditetapkan
dalam TAP MPR No. XI / MPRS 1966.
- Kembali
meluruskan dan melaksanakan prinsip politik luar negeri Indonesia yang
bebas aktif sesuai dengan TAP MPRS No. XI MPRS 1966.
- Meneruskan
perjuangan untuk menolak Imperialisme dan Kolonialisme dalam berbagai
bentuk.
Pemerintahan Orde Baru segera menyusun rencana untuk mempercepat lancarnya kinerja
kabinet Ampera. Rencana tersebut antara lain :
1.
Untuk memuwujudkan kehidupan politik
yang lebih baik, pada 23 Mei 1970, disusun rencana pemilihan umum.
2.
Kehidupan ekonomi segera
direhabilitasi mengingat kondisi yang sangat memperhatikan dengan kenaikan
harga kebutuhan pokok yang sangat tinggi, hingga mencapai 650 %.
3.
Menyusun dan melaksanakan
pembangunan nasional.
Kebijakan sosial politik orde baru, dalam bidang politik
salah satu langkah yang dilakukan oleh Seokarno adalah melakukan fusi partai
politik. Praktik tersebut dilakukan pada tahun 1975, dengan berdasar pada UU
No. 3 tahun 1975 menghasilkan komposisi sebagai berikut :
1.
Kelompok Demokrasi Pembangunan ( 11
Januari 1973 ) kelompok ini terdiri atas partai Nasional Indonesia, Partai
Kristen Indonesia, Partai Katolik, ikatan pendukung kemerdekaan dan Partai
MURBA.
2.
Kelompok Persatuan Pembangunan ( 5
Januari 1973 ) kelompok ini terdiri atas Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin
Indonesia, Partai Sarikat Islam Indonesia dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah
Indonesia.
3.
Kelompok Golongan Karya yang terdiri
berbagai organisasi profesi, seperti Organisasi Buruh, Organisasi Pemuda,
Organisasi Tani dan Nelayan, Organisasi Seniman dan Organisasi Masyarakat.
Muncul pula berbagai organisasi profesi seperti Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia,
Federasi Buruh Seluruh Indonesia, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, dan
Kabinet Nasional Pemuda Indonesia.
C.
MENGUATNYA PERAN NEGARA PADA MASA
ORDE BARU DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL POLITIK MASYARAKAT.
Sejak Orde Baru berkuasa telah banyak perubahan yang dicapai
oleh bangsa Indonesia, langkah yang dilakukannya adalah menciptakan stabilitas
ekonomi politik. Tujuan perjuangannya adalah menegakkan tata kehidupan Negara
yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Kabinet yang
pertama kali dibentuk adalah Kabinet AMPERA dengan tugas menciptakan stabilitas
politik dan ekonomi sebagai pemasyarakatan untuk melaksanakan pembangunan
Nasional yang disebut : DWI DARMA KABINET AMPERA. Adapun programnya antara lain
:
- Memperbaiki
kehidupan rakyat terutama sandang dan pangan.
- Melaksanakan
Pemilu.
- Melaksanakan
Politik Luar Negeri yang bebas dan aktif.
- Melanjutkan
perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk.
Keempat
program ini disebut dengan Catur Karya Kabinet Ampera.
Ciri-ciri pokok Orde Baru :
- Pemerintahan
yang dictator tetapi aman dan damai.
- Tindak
korupsi merajalela.
- Tidak
ada kebebasan berpendapat.
- Pancasila
terkesan menjadi ideologi tertutup.
- Pertumbuhan
ekonomi yang berkembang pesat.
- Ikut
sertanya militer dalam pemerintahan.
- Adanya
kesenjangan sosial yang mencolok antara orang kaya dan orang miskin.
8. . Sejarah Orde Baru (1966-1998)
9.
Orde Baru adalah
sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.
Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno.
Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan
yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
10.
Orde Baru berlangsung dari
tahun 1966 hingga 1998.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara
rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
11.
Masa Jabatan Presiden Suharto
12.
Pada 1968, MPR secara
resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian
dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan1998.
13.
Politik Presiden Soeharto memulai
"Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya.
14.
Salah satu kebijakan pertama yang
dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia
pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan
bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966,
tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
15.
Pada tahap awal, Soeharto menarik
garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik -
di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap
orang-orang yang terkait denganPartai Komunis Indonesia.
Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer
Luar Biasauntuk mengadili pihak yang
dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian
dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
16.
Sanksi nonkriminal diberlakukan
dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen
penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong
Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
17.
Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi
sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur
administratif yang didominasi militer namun dengan nasihat dari ahli ekonomi
didikan Barat. DPR dan MPR tidak
berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan
militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana.
Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Pembagian PAD juga
kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor
kepada Jakarta,
sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
18.
Soeharto siap dengan konsep
pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi
pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa
tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak
lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan
lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
19.
Eksploitasi sumber daya Selama masa
pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparandikurangi
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
20.
Warga Tionghoa Warga keturunan Tionghoa juga
dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga
negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi,
yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek,
dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang,
meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama
dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali
akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
21.
Satu-satunya surat kabar berbahasa
Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang
sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi
oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski
beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional
Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan
pengakuan pemerintah.
22.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa
warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di
Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme,
yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
23.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia.
Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan
slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang
dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari
daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke
luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur,
dan Irian Jaya.
Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah
terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap
penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan
bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang
sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu
orang Jawa.
24.
Pada awal Era Reformasi konflik
laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di
Kalimantan. Sementara itu
gejolak di Papua yang
dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan
sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
A. Masa Jabatan Soeharto
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto
untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali
secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden
Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu
kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi
anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September
1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk
melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September
1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama
kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau
Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis
Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang
dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian
dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi
nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan
administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan
lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru
memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun
dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan
seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi
rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap
tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang
pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari
seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik
dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu
sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan
kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat
kestabilan politik yang tinggi.
b.
Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
c. Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak
tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia
dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan
Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan
terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini
dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga
di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah
Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah
Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[rujukan?].
Orang
Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Di masa Orde
Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari
media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan
bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah
meningkatkan transmigrasi dari daerah
yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak
diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap
penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak
mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama
dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di
berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik
laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam
pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh
ketidaksukaan terhadap para transmigran.
C. Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai
lebih dari AS$1.000
Sukses
swasembada pangan
Pengangguran
minimum
Sukses
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
Sukses
Gerakan Wajib Belajar
Sukses
Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
Sukses
keamanan dalam negeri
Investor
asing mau menanamkan modal di Indonesia
Sukses
menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
D. Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya
kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena
kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena
kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran
yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang
tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
Kritik
dibungkam dan oposisi diharamkan
- Kebebasan
pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan yang dibreideli
- Penggunaan
kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius" (petrus)
- Tidak
ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintahan presiden
selanjutnya)
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan
dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir
dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal
dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta
pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas,
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti
ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga
Indonesia.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk
kemudian digantikan "Era Reformasi".
Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di
jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang
mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena
itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca
Orde Baru".
G. Sistem Politik Orde Baru Tidak
Bisa Memberantas Korupsi
Reaksi
terhadap tulisan Sdr Anwar Hasyim “ Betulkah kekayaan Presiden Suharto mencapai
16 milyar dollar AS ?” (Apakabar 23 Juli 1997) dan tulisan
Sdr Atmo Prakoso “Korupsi hanya bisa dibrantas kalau Pak Harto turun jabatan
dan sistem politik Orde Baru diganti” (Apakabar 19 Juli 1997)
- Korupsi yang merajalela di
Indonesia adalah produk atau akibat sistem politik dan struktur kekuasaan
- Korupsi hanya bisa dibersihkan
sesudah gulungtikarnya Orde Baru lewat revolusi politik
Oleh : Mohtar Rivai
(yang pernah ikut dalam pertempuran 10 November 1945 di kota Surabaya dan
sekitarnya)
Dalam
tulisan-tulisan yang sudah disiarkan lewat Apakabar, sudah sering dikemukakan
bahwa kehadiran Pak Harto di pucuk pimpinan negara merupakan sumber dari banyak
penyakit parah dan penyebab terjadinya berbagai “ketidakberesan” dalam
kehidupan bangsa. Juga telah sering diungkap, bahwa selama Pak Harto masih
menjadi presiden, maka segala usaha untuk mengadakan perbaikan atau perobahan
yang mendasar dalam kehidupan politik dan pemerintahan akan sia-sia belaka.
Dan, bahwa perobahan lewat digulingkannya Orde Baru secara politik adalah
satu-satunya jalan untuk dapat dibrantasnya korupsi dan kolusi.
Sepintas
lalu, bagi sementara orang, kalimat-kalimat itu bisa dianggap “berbau
subversif” dan mengandung unsur-unsur “destabilisasi kekuasaan yang sah”,
“melawan undang-undang” atau, se-tidak-tidaknya menghina nama baik kepala
negara. Sebaliknya, realitas yang terdapat di negara kita selama 30 tahun Orde
Baru telah menyajikan banyak bukti-bukti bahwa sistem politik, yang dipaksakan
oleh Pak Harto dengan berbagai cara, memang telah menjuruskan bangsa kita ke
muara kerusakan moral yang serius dan kemacetan kehidupan demokratis.
Tulisan Sdr
Anwar Hasyim menyebutkan, antara lain : “Terlepas dari soal sampai mana kebenarannya,
tersiarnya berita tentang kekayaan Presiden Soeharto sebesar 16 milyar US$
menunjukkan bahwa sistem politik Orde Baru sudah perlu dirobah, bahkan dibuang
sama sekali, untuk diganti dengan sistem yang lebih sesuai dengan arus zaman,
dan yang bisa menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang beradab.
Reformasi politik sudah makin terasa urgen, yang bisa mencegah adanya seorang
kepala negara bisa memonopoli kekuasaan yang begitu besar, sehingga tidak bisa
lagi dikontrol oleh rakyat, melalui lembaga-lembaga yang mewakili kepentingan
publik. Tetapi, berdasarkan pengalaman selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru,
kita telah menyaksikan bahwa reformasi di bidang politik adalah tidak mungkin.
Sistem politik yang dikendalikan oleh Presiden Suharto tidak menghendaki adanya
perobahan atau perombakan.”
Untuk
melengkapi fikiran-fikiran yang sudah diutarakan di atas, bisalah kiranya
ditambahkan bahwa hanyalah ilusi belaka, kalau ada orang yang beranggapan bahwa
perbaikan-perbaikan mendasar bisa diadakan selama sistem politik model Orde
Baru masih ditrapkan secara paksa di bumi Indonesia. Tentu saja, segala macam
sarjana politik bisa saja terus membuat makalah-makalah mengenai perlunya
perbaikan, dan baik jugalah bahwa pakar-pakar ekonomi mengajukan
fikiran-fikiran tentang bagaimana membrantas korupsi, dan berguna pulalah bahwa
ahli-ahli hukum terus memprotes penyelewengan-penyelewengan yang banyak
terjadi. Ini semua perlu dilakukan terus. Tetapi, adalah hanya khayalan besar
saja, kalau ini semua dilakukan dengan dasar fikiran bahwa perbaikan mendasar
dan perobahan radikal bisa terjadi selama Orde Baru masih tegak.
Perbaikan
dan perobahan di Indonesia tidak bisa dilakukan “DALAM sistem” atau “BERSAMA
sistem” Orde Baru. Perobahan fundamental hanya bisa terjadi dengan
mengusahakannya lewat perjuangan yang dikembangkan oleh kekuatan politik
“DILUAR sistem”. Dan itu berarti bahwa perjuangan kekuatan politik “diluar
sistem” ini, pada akhirnya, akan bentrokan dengan “sistem” politik Orde Baru.
Bentrokan ini bisa terwujud dalam berbagai bentuk dan cara, dan dalam berbagai
bidang, dan tidak mesti atau selalu harus melalui kekerasan fisik yang
mengakibatkan korban darah, harta-benda atau nyawa. Bentrokan antara yang
menginginkan perobahan (yang terdiri dari berbagai golongan dalam masyarakat)
dan yang menentang perobahan (Presiden Soeharto, Golkar, Abri dan sebagian dari
birokrasi) adalah hal yang terelakkan.
Bentrokan-bentrokan
ini sudah terjadi sejak berdirinya Orde Baru, secara sporadis di-sana-sini dan
dalam skala yang relatif masih kecil, dan karenanya mudah ditumpas. Selama dua
tahun terakhir ini, bentrokan-bentrokan ini makin mencuat, dan mengambil bentuk
yang lebih berarti, sampai memakan korban jiwa dan harta-benda. Demonstrasi
besar-besaran di Gambir tahun 1996, peristiwa penyerbuan gedung PDI Jalan
Diponegoro, peristiwa Ujungpandang, Situbondo, Tasikmalaya, Sampang, Bangil
Pasuruan, dan kerusuhan dalam kampanye pemilu 97 adalah bagian dari
gelombang-gelombang perbenturan-perbenturan dengan sistem politik Orde Baru.
Dipenjarakannya sejumlah pemuda-pemudi pimpinan PRD dan PUDI dan Pakpahan juga
bukti tentang terus berlangsungnya bentrokan politik. Demikian juga pemogokan
buruh di mana-mana, dan aksi-aksi massa untuk mendukung perjuangan politik dan
gerakan moral Megawati.
Mengusahakan
perobahan yang fundamental (revolusi politik), adalah hak rakyat Indonesia, dan
bahkan merupakan kewajibannya. Dalam kaitan ini, bisalah diartikan bahwa usaha
berbagai gerakan pro-perobahan atau pro-demokrasi di Indonesia untuk mengganti
sistem politik dan pemerintahan yang sekarang adalah perjuangan politik yang
sah dan gerakan moral yang mulia. Adalah hak dan kewajiban warganegara
Indonesia untuk menyatakan perang jihad terhadap korupsi dan kolusi yang
dijalankan oleh pejabat-pejabat Orde Baru di berbagai kalangan. Adalah hak dan kewajiban
warganegara Indonesia untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan secara
se-wenang-wenang. Adalah hak dan kewajiban warganegara Indonesia untuk tidak
tunduk kepada peraturan-peraturan Orde Baru yang salah dan merugikan rakyat
banyak.
Tidak
menyukai sistem politik Orde Baru, bahkan menentangnya pula, adalah hak politik
rakyat. Jelasnya, menentang suatu politik Orde Baru bukanlah suatu kejahatan,
dan bukan pula sesuatu yang terlarang. Dalam situasi tertentu dalam sejarah
rakyat Indonesia, bahkan menentang suatu politik pemerintahan adalah tindakan
yang benar dan merupakan missi yang mulia. Dalam kaitan ini baik jugalah
kiranya kita ingat perjuangan para perintis kemerdekaan yang sudah “melanggar
hukum yang berlaku” atau yang menentang “peraturan-peraturan yang sah” dari
pemerintah kolonial Belanda (dan Jepang), sehingga mereka meringkuk di banyak
penjara kolonial dan dibuang ke Digul. Sejarah perjuangan Bung Karno dan Bung
Hatta bisa memberikan contoh.
Sistem
politik Orde Baru dibawah komando Presiden Soeharto adalah sistem kekuasaan
yang tidak mau menerima kontrol dari rakyat dan memandang rendah martabat
rakyat. Padahal, prinsip-dasar demokrasi, atau jiwa demokrasi, adalah bahwa
rakyatlah yang harus menjalankan kedaulatannya. Kasarnya, rakyatlah yang memerintah.
Prinsip inilah yang telah dianggap sepi saja oleh struktur kekuasaan politik
Orde Baru. Struktur kekuasaan Orde Baru telah menjadikan perangai para penguasa
menyerupai pemilik-tunggal negeri ini, yang dengan kepongahan telah menjadikan
rakyat sebagai kuda tunggangan, sambil menjarah kekayaan negeri secara
beramai-ramai.
Pengertian-dasar
republik (res publica), yalah bahwa segala sesuatunya adalah demi dan untuk
umum. Umum/rakyat/publik , yaitu pemilik negeri ini, “meminjamkan” kekuasaan
kepada pemerintah, termasuk kepada presiden republik, untuk mengatur negara dan
menjalankan pemerintahan. Mereka ini, para penguasa (termasuk presiden) adalah,
kasarnya, “pegawai” rakyat. Rakyatlah yang membayar gaji mereka. Mereka
dipinjami – oleh rakyat - kekuasaan untuk mengatur negeri, dan bukan untuk
menyalahgunakaan kekuasaan, termasuk melakukan korupsi dan kolusi guna
memperkaya diri. Karenanya, pemerintah, termasuk presiden, harus memberikan
pertanggungan-jawab kepada rakyat (antara lain, lewat dewan perwakilan rakyat).
Tetapi,
sistem politik Orde Baru sudah merusak dan menjungkir-balikkan ini semua.
Presidennya sudah mengangkat dirinya sebagai raja absolut, dengan mengangkangi
kekuasaan yang luar biasa besarnya. Selama 30 tahun menjabat kedudukan sebagai
presiden, berbagai tindakan atau tingkah-lakunya menunjukkan bahwa ia sudah
“lupa” kepada prinsip-dasar “res publica”, yaitu bahwa kekuasaan yang
dipegangnya adalah sebenarnya pinjaman dari rakyat, untuk ikut mengatur negeri,
dan bukannya untuk mengumpulkan kekayaan yang sampai 16 milyar US$. ! Perangai
yang serupa juga diperlihatkan oleh banyak pejabat-pejabat Orde Baru di
berbagai tingkat, yang sering menunjukkan dengan kecongkakan - yang tidak
sepantasnya - bahwa mereka menganggap negeri ini adalah hanyalah milik mereka
sendiri saja. Kita bisa saksikan gejala-gejala semacam ini di Jakarta, di
propinsi, di kabupaten dan di kecamatan di seluruh Indonesia. Tingkah-laku
pejabat-pejabat ini membuktikan bahwa mereka “lupa” bahwa missi mereka adalah
mengabdi kepada kepentingan rakyat, dan bukannya untuk memperalat atau memusuhi
rakyat. Skali lagi, mereka adalah “pegawai” rakyat, dan bukan sebaliknya,
menjadi “tuan” yang berdiri di atas rakyat.
Sudah 30
tahun lamanya, kita menyaksikan bahwa sistem kekuasaan Orde Baru ini dengan
arogansi telah meremehkan martabat rakyat, memandang rendah daya fikir rakyat,
menganggap sepi aspirasi rakyat. Dengan kesombongan “kekuatan senjata” sistem
ini telah “menggebug” berbagai golongan dalam masyarakat yang tidak menyokong
politik Orde Baru, dan yang ingin ikut juga “berbicara” mengenai urusan-urusan
republik sebagai pemilik-bersama negeri ini. Rakyat, yang merupakan sumber
“mandat” fihak eksekutif (presiden, kejaksaan agung, kepolisian, Abri dll)
telah dibungkam mulutnya, dan diborgol gerak-geriknya. Pemerintah telah
memandang rakyat sebagai fihak yang harus “dihadapi” sebagai lawan, dan
bukannya kawan, dengan jalan memaksakan 5 UU Politik : UU Pemilu (UU N°
1/1985), UU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU N° 2/1985), UU
tentang partai politik dan Golkar (UU N°3/1985), UU tentang referendum (UU
N°5/1985), dan UU tentang ormas (UU N°8/1985).
Dengan lima
UU Politik ini, sistem kekuasaan Orde Baru telah membatasi kegiatan-kegiatan
masyarakat dalam bidang politik, menutup saluran-saluran aspirasi demokratik,
mencegah golongan-golongan dalam masyarakat untuk mempersoalkan problem-problem
besar negara dan rakyat. Lima UU Politik ini digunakan untuk membiarkan rakyat
“bodoh politik”, sehingga mudah dimanipulasi dan “ditundukkan”. Juga untuk
mencegah lahirnya kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang bisa mempersoalkan
“missi” Orde Baru. Akibatnya : organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda
menjadi lemah, buruh-buruh dibiarkan menderita pemerasan tanpa pembelaan,
dewan-dewan perwakilan rakyat menjadi kumpulan togog-togog yang tidak pantas
dan tidak berhak menamakan diri “wakil rakyat”, hakim dan jaksa tidak berani
menjalankan tugasnya secara jujur, penyimpangan tugas dan penyelewengan jabatan
merajalela. Korupsi pun berkembang tanpa kendali.
Keparahan
dan kerumitan problem yang diakibatkan oleh Lima UU Politik menjadi lebih
serius lagi bagi kehidupan bangsa dengan ditrapkannya, secara buruk, konsep
Dwifungsi ABRI oleh Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto. Karena
pentrapan yang buruk inilah maka citra ABRI sebagai tentara rakyat sudah
tercemar. Orde Baru membuat dosa besar dalam sejarah bangsa, karena telah
merusak ABRI. Rakyat kita membutuhkan ABRI yang bisa dibanggakan sebagai
pembela bangsa dan negara, seperti yang pernah kita punyai sebelum Orde Baru
berkuasa. Waktu itu kita senang mendengar perumpamaan bahwa hubungan ABRI
dengan rakyat adalah ibarat ikan dengan air. Tetapi, sekarang ini, perumpamaan
itu sudah tinggal menjadi gombal belaka.
Pentrapan
yang buruk konsep Dwifungsi ABRI oleh Orde Baru sudah membuat
kerusakan-kerusakan besar di berbagai bidang. Terutama sekali dalam bidang
moral di kalangan ABRI. Dengan konsep inilah sistem politik Presiden Suharto
telah membikin ABRI terlibat, terlalu jauh dan terlalu dalam, dalam
urusan-urusan yang bukan bidangnya, terutama di bidang politik. Dengan dalih
stabilisator, dinamisator, penjaga UUD 45, pengaman Pancasila, tokoh-tokoh ABRI
di berbagai tingkat, telah ditempatkan di-mana-mana : dalam pemerintahan sipil,
dalam berbagai macam lembaga politik , dalam sektor-sektor ekonomi, dalam
diplomasi dan 1001 bidang lainnya. Pentrapan yang salah konsep Dwifungsi telah
melahirkan jaring-jaringan kekuasaan yang ditugaskan untuk mempertahankan
tegaknya Orde Baru. Artinya, ditugaskan untuk mempertahankan statusquo dan
berhadapan dengan arus perobahan dan perombakan. Kita bisa mengharapkan bahwa
angkatan muda dalam ABRI akhirnya, pada waktunya, bisa mengkoreksi
kesalahan-kesalahan besar ini, untuk mengembalikan kedudukannya dalam tempat yang
terhormat dalam hati rakyat.
Komentar
Posting Komentar